Si Cacat yang Tak Pernah Bohong
Sidempuan Pos,19 Agustus 2008
Margareta kembali meraih penghargaan dari Dewan Kesenian Sumatera Utara untuk yang kesepuluh kalinya.Sungguh menakjubkan, walaupunkeadaan fisiknya yang cacat dan usianya yang sudah mengijak massa senja,dia tetap saja menghasilkan karyanya yang begitu mempesona Lantas apa yang menjadi inspirasinya dalam menulis selama ini......
***
Bangsal Polonia,Lembaga Pemasyarakatan Medan, telah terbuka. Lampu-lampu telah menyala. Aku telah dudukdi sana sekitar lima menit yang lalu sambil menatap kedua tanganku. Tak lama kemudian seorang lelaki muda datang di hadapanku dan duduk bersamaku.
“Jadi sekarang coba anda ceritakan tanganmu yang cacat itu ,”katanya kepadaku.
Lelaki itu adalah Ucok, aku baru saja mengenalnya melalui telepon. Dia adalah wartawan muda profesional yang gemar memburu berita.Mungkin dia bingung melihat tanganku yang cacat, mungkin ini sangat menarik baginya, terlebih dia adalah seorang wartawan yang haus akan hal-hal yang baru dan unik. Aku hanya membalasnya dengan senyuman, lalu aku hanya diam dan tak begeming.
Aku adalah Margareta, seorang wanita asli batak yang sangat gemar menulis. Padahal aku dulu paling bodoh dalam bidang itu.Namun, karena peristiwa 20 tahu yang lalu, membuatku tersentak dan memaksaku untuk mengabadikannya dalam hidupku.
“Ayolah, ceritakan saja padaku ,”katanya padaku“Pasti itu terjadi karena kecelakaan,”tambahnya. Aku hanya diam dan memandang wajahnya.“ Cepatlah, apalagi yang kau tunggu,”desaknya padaku.
Aku lalu memandang keluar, melihat melati putih berjatuhan diiringi gemuruh angin, persis sama dengan 20 tahun yang lalu, saat aku harus merelakan kedua tanganku demi menyelamatkan buah hatiku yang kini entah dimana.
“Aku berasal dari pulau samosir,” kataku untuk memulai.
“Awalnya aku benci dengan kehidupanku yang lalu,” tambahku.
“ Tangan ini adalah satu-satunya kenangan yang tak pernah hilang dari masa itu,” kataku padanya.
Dia lalu duduk sambil melihatku dengan wajah yang ingin tahu.
“Saat itu aku masih berusia sekitar dua puluh tahun. Mungkin masih terlalu muda untuk seorang gadis pada masaa tersebut untuk menghadapi semua ini. Aku dulu dipaksa menikah oleh kedua orangtuaku dengan seorang pemuda batak berusia senja,bernama Marpaung. Aku tak mau,namun karena kedua orangtuaku memiliki hutang dengannya,maka aku harus mengikutinya.Bagiku,marpaung adalah lelaki yang kejam,keras, dan tak berhati.Dia sangat berbeda dengan Richard, kekasih yang aku cinta.
Diam-diam setelah menikah,aku masih menjalin hubungan dengan richard. Aku begitu bahagia.
Pada suatu malam, hubungan kami terbongkar,anak buah marpaung mendapatkan kami berdua di bawah kaki bukit danau toba. Aku terkejut, lalu richard berusaha melindungiku,tapi apa daya, anak buah marpaung begitu banyak dan kuat. Richard,kekasih pujaanku harus merelakan nyawanya demi melindungi aku.
Aku menangis histeris, namun tak ada yang perduli padaku,mengingat hari sudah malam dan toba sudah sepi. Aku diseret oleh mereka menuju marpaung.
“Lalu, bagaimana dengan richard?”tanya sang wartawan
“Aku tak tahu,begitu ia tewas, aku langsung diseret,”katak.u.
“Tapi, kabarnya pembunuhan richard dimanipulasi,seolah ia kecelakaan,”kataku
“Lantas,kenapa anda hanya diam,”kembali bertanya.
“Aku diancam oleh marpaung,”kataku lirih.
***
Hari-hari berlalu dengan penuh pilu,aku begitu sedih menjalani hidup dengan marpaung. Dia tak peduli dengan perasaan hatiku.Marpaung berhati baja,kerjaannya hanya bermain wanita, berjudi, dan bermabuk-mabukkan.
Kesedihanku yang semakin memuncak,tatkala aku mendapatkan diriku tengah berbadan dua.Sungguh pada saat itu aku bimbang akan kehamilan ini.Lambat-laun perutku kian membuncit,marpaung akhirnya tahu akan kehamilanku. Namun,marpaung tetaplah marpaung,awalnya ia mau menerimanya, tapi lidahnya sudah penuh dengan dusta.
Marpaung tidak ingin punya anak,ia hanya ingin menikmati keperawananku.Terlebih dia sering menyindirku apakah benar ini anaknya.Aku dapat melihat dari perlakuannnya terhadap bayiku. Marpaung ingin memisahkan aku dan anakku.
Pada suatu malam, ketika aku sedang berada di dapur untuk membuatkan anakku susu,diam-diam aku melihat marpaung membawa sebuah kotak besar dari dalam rumah. Aku curiga,lalu aku kembali ke kamar dan mendapatkan bahwa anakku sudah tidak ada.Aku tersentak langsung mengejar marpaung,lalu dari kejauhan aku melihat asap yang mengepul,aku semakin curiga,lalu dengan kaki seribu aku mendekatinya. Aku begitu terkejut,terlebih aku meihat marpaung dan antek-anteknya telah mengangkat bayiku dan hendak menceburkannya ke dalam api yang menyala. Aku langsung menghentikannya,berlalri mendekati marpaung dan hendak menarik kotak tersebut. Namun apa hendak dikata,marpaung begitu kuat,terlebih anak buahnya yang siaga. Akhirnya bayiku jatuh ke dalam api, lalu mereka terwa-tawa dan aku dengan sekuat tenaga berhasil lepas dari cengkraman anak buah marpaung.Tanpa pikir panjang,aku langsung masuk ke dalam api,tak perduli panasnya,yang ada di benakku hanyalah anakku. Aku berhasil mengangkat anakku,namun marpaung melemparkan balok api kepadaku dan anakku,aku mendekap anakknu,namun balok itu menghampiri kedua tanganku dan membakarnya.Sungguh betapa sakitnya tanganku,namun aku tak perduli.di dalam benakku hanya ada keselamatan anakku.
Marpaung tak tinggal diam,dia menendang aku sehingga membuatku jatuh tersentak di tanah.Kotak hitam yang berisi anakku langsung ditariknya dan diserahkan pada anak buahnya. Aku tak berdaya,terlebih api di tanganku semakin membuatku merintih. Aku semakin lemas. Lalu aku tak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu.
***
Aku terbangun dan mendapatkan tubuhku di atas tempat tidur di dalam kamarku. Aku langsung bangun dan mencari dimana anakku.
Aku begitu bodoh. Tatkala aku bangun aku telah kehilangan buah hatiku. Aku mencarinya. Aku tak segan-segan melabrak seisi rumah, terutama marpaung.
“Bang, dimana anakku?”tanyaku
“Anakmu?hahaha,”jawabnya sinis.
“Anak itu telah kubuang dari kehidupan kita,”jawabnya
“Dia telah kuhanyutkan ke dalam aliran air di selatan toba,”jawabnya
Aku semakin sedih, namun entah mengapa kali ini aku tak tinggal diam, ada bisikkan emosi yang menghampiri telingaku untuk melakukan hal yang sangat di luar akal sehatku.
“Setan kau, marpaung!teriakku sambil menunjuk dan meludahi wajahnya.
“Biadab kau iblis,”geramku.
“Aku bersumpah aku tidak akan memaafkanmu,”teriakku keras.
“Hah....dasar wanita bingal,”sahutnya.
“Aku tidak akan sudi meninta maaf darimu,”sindirnya sinis.
“Ludahmu ini akan menjadi pertanda bahwa kau tidak akan lama lagi,”sahutnya.
Lalu marpaung pergi meninggalkanku,tanpa basa-basi,namun ketika hendak berbalik,aku melihat ada sebongkah balok kayu di sampingku. Aku mengambilnya dengan perlahan.Lalu dengan emosi yang tinggi, aku memukulkannya kepada marpaung. Ia tersentak, ternyata pukulanku tepat mengenai saraf yang di belakangnya.Ia terjatuh,lalu aku tak menyiakan kesempatan ini,lalu kurogoh sakuku dan kuambil sebuah gunting yang sangat tajam,aku langsung menusukkannya tepat di tubuh marpaung,lalu ia semakin meronta dan sempat ingin menghujatku,namun aku mampu menghindar,aku kembali mencabut gunting itu,kemudian menusukkannya berkali-kali pada tubuh marpaung.Tak lama setelah itu, si biadab marpaung telah tiada.
Aku begitu kalap,aku telah termakan oleh emosi yang meluap-luap.Aku tetap memegang gunting tersebut dengan nafas yang terengah-engah.
***
Alunan ketok palu hakim masih terngiang di telingaku. Aku dikenakan pasal 338 KUHP,sengaja menghilangkan nyawa orang lain. Aku begitu sedih,tapi apa hendak dikata. Aku harus menerimanya dengan lapang dada. Pasca kematian marpaung,aku harus tetap tegar menghadapi lika-liku hidupku
***
Melati kembali berguguran diiringi deru angin yang melambai. Pemuda itu masih setia mendengar ceritaku.
“Lalu,selama di penjara apakah hanya diam saja,”tanya pemuda itu. Suara pemuda itu menghampiri telingaku dan membuatku tersentak meninggalkan memori dua puluh tahun yang lalu,
“Selama di penjara,aku tak kuasa harus berbuat apa,”jawabku.
“Semua orang tak percaya ceritaku,”tambahku.
“Ayah dan ibuku telah diasingkan dan dibunuh oleh antek-antek marpaung,”kataku.
Aku kembali menangis,dan pemuda itu tampak begitu haru melihatku.
“Tangan cacat inilah menjadi saksi akan segalanya,”ujarku sambil mengusapnya.
“Aku hanya bisa menuliskan kesaksian bisu tangan ini selama aku dipenjara,”ujarku.
“Selama aku di dalam sel,aku hanya mendengar kesetian tangan ini,”tambahku.
“Kesetiannya untuk mendukungku dalam helaian kertas,”kataku semakin lemas.
Pemuda itu kembali memandang wajahku.
“Lantas apakah karya besar anda selama ini adalah kesaksian tangan ini,?”tanya lagi.
“Ya,semua karyaku yang selama ini adalah hasil kesaksian tangan cacatku ini,”sambil ,emggenggam tanganku.
“Tangan ini menuntunku untuk terus berkarya,”jawabku lantang.
“Sebuah karya yang dapat membuka mata dunia akan kejamnya sebuah peradaban.”
“Lantas, apa harapan anda dengan karya yang anda hasilkan selama ini,”tanya pemuda itu lagi.
“Aku mengharapkan agar kejadian yang aku alami tidak terulang lagi.”
“Si cacat ini tak bisa membebaskanku.”
“Namun,aku berharap semoga ia bisa terus menjadi inspirasi untuk terbukanya sebuah keadilan dalam curangnya sebuah kehidupan.”
“Lalu bagaimana dengan anak anda,” tanya pemuda itu lagi.
“Itu semua nihil,”kataku sambil menunduk dan kembali menitikkan air mata.
Pemuda itu memandang wajahku dengan tulus,lalu ia menitikkan air mata,seakan melihat cahaya kasih sayang seorang ibu. Ia lalu bangkit dari kursinya.
Aku hanya tersenyum,lalu pemuda itu bersalaman denganku.
“Baiklah,saya begitu tersentuh mendengar cerita anda, semoga tangan itu kelak dapat mempertemukan anda dengan buah hati anda,”ungkapnya dengan lirih.
“Teruslah berkarya dan Semoga anda bisa meraih kebahagian dalam hidup anda,”
Pemuda itu lalu pamit dan meninggalkan ruangan. Namun sepanjang perjalanan keluar,margareta memandangnya sambil berandai-andai.Seandainya anaknya masih hidup,mungkin dia telah sebesar ucok.Margaret kembali bangkit,ia merasakan suatu kontak batin ketika pemuda tadi hendak meninggalkannya.Margaret,tak tahu apa yang terjadi di lubuk hatinya. Dia hanya bisa pasrah akan semua ini.
Sementara di balik ruang polonia, pemuda tersebut menitikkan kembali air matanya.Ada rasa sedih yang mendalam terbesit di wajahnya. Ada getaran aneh dalam dirinya seakan mendapatkan hangatnya kasih sayang seorang ibu yang tak pernah ia dapatkan dalam hidupnya selama ini.
Yogyakarta,10 Zulhijjah 1429 H
Faiznur Ridho
08/267881/KG/8334
Tidak ada komentar:
Posting Komentar